MEMPENGARUHI
PERILAKU
A.
Definisi Pengaruh
Pengaruh menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah daya yang ada dan timbul dari
sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuataan
seseorang. Dari pengertian di atas telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaruh
adalah merupakan sesuatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang
lain.
Berikut
ini adalah pengertian dan definisi pengaruh menurut para ahli:
1.
Wiryanto
Pengaruh
merupakan tokoh formal mauoun informal di dalam masyarakat, mempunyai ciri
lebih kosmopolitan, inovatif, kompeten, dan aksesibel dibanding pihak yang dipengaruhi.
2.
M.
Suyanto (AMIKOM YOGYAKARTA)
Pengaruh
merupakan nilai kualitas suatu iklan melalui media tertentu.
3.
Uwe Becker
Pengaruh
adalah kemampuan yang terus berkembang yang - berbeda dengan kekuasaan - tidak
begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan (involed is formatif vermogen dat - in tegens
telling tot macht - niet direct verbonden is met strijd en de doorzetting van
belangen).
4.
Norman
Barry
Pengaruh
adalah suatu tipe kekuasaan yang jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak
dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,
sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang
mendorongnya (influence is a type of
power in that a person who is influenced to act in a certain way may be said to
be caused so to act, even though an overt threat of santions will not be the
motivating force).
5.
Robert
Dahl
A
mempunyai pengaruh atas B sejauh ia dapat menyebabkan B untuk berbuat sesuatu
yang sebenarnya tidak akan B lakukan.
6.
Sosiologi
Pedesaan
Pengaruh
merupakan kekuasaan yang mengakibatkan perubahan perilaku orang lain atau
kelompok lain.
7.
Bertram
Johannes Otto Schrieke
Pengaruh
merupakan bentuk dari kekuasaan yang tidak dapat diukur kepastiannya.
8.
Albert
R. Roberts & Gilbert
Pengaruh
adalah wajah kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki
kewenangan untuk mengambil keputusan.
9.
Jon Miller
Pengaruh
merupakan komoditi berharga dalam dunia politik Indonesia.
B.
Kunci-Kunci Perubahan Perilaku
Kunci perubahan masyarakat adalah membentuk daya
intelektual dan perbuatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
sehingga terjadilah perubahan perilaku yang secara otomatis diikuti dengan
perubahan masyarakat.
Perilaku yang akan menjadi kunci perubahan di
masyarakat adalah sikap yang mampu melalui berbagai benturan dengan gemilang,
adanya kepercayaan diri tanpa batas, dan tekad untuk terus berjuang hingga
titik nadir. Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan
baik disadari maupun tidak.
-
Courage : Diperlukan keberanian,
kebulatan, tekad dan keteguhan hati
-
High
confidence :
Kekuatan penggerak hidup anda
-
Attitude : Mental yang positif
-
New
action : Tindakan yang benar-benar konsisten
-
Goal :
Target atau tujuan yang benar-benar diinginkan
-
Excellence :
Menjadi yang terbaik
C.
Model Mempengaruhi Orang Lain Dan Perannya Dalam
Psikologi Manajemen
Aristotle yang menyatakan terdapat 3 pendekatan
dasar dalam komunikasi yang mampu mempengaruhi orang lain, yaitu:
1.
Logical
argument
(logos)
Penyampaian
ajakan menggunakan argumentasi data-data yang ditemukan. Hal ini telah
disinggung dalam komponen data.
2.
Psychological / emotional argument (pathos)
Penyampaian
ajakan menggunakan efek emosi positif maupun negatif.
3.
Argument
based on credibility (ethos)
Ajakan
atau arahan yang dituruti oleh komunikate/ audience karena komunikator
mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidangnya.
Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana manager menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Manajer perlu menggunakan lebih dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka
Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana manager menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Manajer perlu menggunakan lebih dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka
KEKUASAAN
A. Definisi Kekuasaan
Kekuasaan (power) mengacu pada
kemampuan yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak
sesuai dengan keinginan A. Definisi ini mengimplikasikan sebuah potensi yang
tidak perlu diaktualisasikan agar efektif dan sebuah hubungan ketergantungan.
Kekuasaan bolah saja ada, tetapi tidak digunakan. Karena itu, kekuasaan
merupakan suatu kemampuan atau potensi.
B.
Sumber Kekuasaan menurut
French & Raven
French & Raven (1959) menyusun sebuah kategorisasi sumber kekuasaan
ditinjau dari hubungan anggota (target) dan pemimpin (agent).
1)
Kekuasaan Ganjaran
Target taat agar ia mendapatkan ganjaran yang
diyakininya dikuasai atau dikendalikan oleh agent.
2)
Kekuasaan Koersif (Pemaksaan)
Target taat agar ia terhindar dari hukuman yang
diyakininya diatur oleh agent.
3)
Kekuasaan Resmi (Legitimate)
Target taat karena ia yakin bahwa agent mempunyai
hak untuk membuat ketentuan atau peraturan dan bahwa target mempunyai kewajiban
untuk taat.
4)
Kekuasaan Keahlian (Expert)
Target taat karena ia yakin atau percaya bahwa
agent mempunyai pengetahuan khusus tentang cara yang terbaik untuk melakukan
sesuatu.
5)
Kekuasaan Rujukan
Target taat karena ia memuja agent atau
mengidentifikasikan dirinya dengan agent dan mengharapkan persetujuan agent.
TEORI-TEORI LEADERSHIP
A.
Definisi Leadership
Beberapa definisi kepemimpinan (Leadership), yaitu :
1) Kepemimpinan adalah perilaku seorang individu
ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama
(Hemphill & Coons, 1957: 7).
2) Kepemimpinan adalah suatu jenis hubungan kekuasaan
yang ditandai oleh persepsi anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain
mempunyai hak untuk merumuskan pola perilaku dari anggota yang pertama dalam
hubungannya dengan kegiatannya sebagai anggota kelompok (Janda, 1960: 358).
3) Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang
dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian tujuan
atau tujuan-tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961: 24).
4) Kepemimpinan adalah interaksi antar manusia dimana
salah satunya menyajikan satu jenis informasi tertentu sedemikian rupa sehingga
yang lain yakin bahwa hasilnya akan lebih baik jika ia berperilaku sesuai
dengan cara-cara yang dianjurkan atau diharapkan (Jacobs, 1970: 232).
5) Kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan
suatu struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974: 411).
6) Kepemimpinan adalah tambahan pengaruh yang lebih
tinggi dan diatas mekanisme pencapaian dengan arahan rutin dari organisasi
(Katz & Kahn, 1978: 528).
7) Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas
sebuah kelompok yang terorganisasi menuju pencapaian suatu tujuan (Roach &
Behling, 1984: 46).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa Kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku atau hubungan yang
menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau bekerja
sama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama.
B.
Teori-Teori KepemimpinanPartisipatif
1)
Teori X dan Teori Y dan Douglas Mx Gregor
Teori
perilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan
pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang.
Konsep
teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin
organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai /
karyawan yaitu teori x atau teori y.
A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas
yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan
namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja
para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja
sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
B.
Teori
Y
Teori ini memiliki anggapan
bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya.
Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka
memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan
perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta
memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga
tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.
Penelitian teori x dan y menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state
yang membagi kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan
struktur.
2)
Teori 4 Sistem dari Rensis Likert
Teori Empat Sistem (bahasa Inggris : Four Systems Theory) adalah salah satu teori komunikasi yang mengkaji hubungan antar manusia melalui hasil dari produksinya
dilihat dari kacamata manajemen.
Rensis
Linkert dari Universitas
Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Bila seseorang
memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi
akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen berlangsung
dalam empat sistem:
-
Sistem Pertama
Sistem yang penuh tekanan
dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak
memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan
bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan
atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak
selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
-
Sistem Kedua
Sistem yang lebih lunak
dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan.
Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan
bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut
memberikan masukan atas keputusan itu.
-
Sistem Ketiga
Sistem konsultatif dimana
pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan
berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata.
Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan
tersebut.
-
Sistem Keempat
Sistem partisipan dimana
pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya
sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi
keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika
tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan
manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan
manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan
partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting
(tujuan) dan penilaian .
Teori empat sistem ini menarik karena dengan penekanan
pada perencanaan dan pengendalian teori ini menjadi landasan baik untuk teori
posisional dan teori hubungan antar pribadi.
3)
Theory
of Leadership Pattern Choice dari Tannenbaum dan Schmidt
Pada
tahun 1957, Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt menulis salah satu artikel
yang paling revolusioner yang pernah muncul dalam The Harvard Bussiness Review. Artikel ini, berjudul “Bagaimana
Memilih Sebuah Pola Kepemimpinan” adalah signifikan bahwa hal tersebut
menunjukkan gaya kepemimpinan adalah pilihan manager. Di bawah ini Anda akan
melihat akrab “Hubungan Oriented” dan “Tugas”.
Para
penulis mengusulkan tiga faktor utama yang menjadi pilihan tergantung pola
kepemimpinan :
1.
Kekuatan
di manajer
Egattitudes, kepercayaan, dan nilai-nilai.
2.
Kekuatan
di bawahan
Egtheir sikap, kepercayaan,
nilai dan harapan dari pemimpin.
3.
Kekuatan
dalam situasi
Egtheir dan kendala yang
dihasilkan oleh tugas-tugas, iklim organisasi dan lain-lain dari faktor extrancous.
Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat
(gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pimpinan berkurang secara
proporsional.
-
Demokrasi
(Hubungan
Berorientasi)
Pola kepemimpinan yang
ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan
-
Otoriter (Tugas Berorientasi)
Pola kepemimpinan yang
ditandai penggunaan wewenang oleh pemimpin.
Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan
Schmidt. Pola kepemimpinan dengan angka-angka dibawah ini mirip dengan gaya
kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan proses
pengambilan keputusan.
-
Kepemimpinan
pola 1
“Pemimpin izin bawahan
berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
-
Kepemimpinan
pola 2
“Pemimpin mendefinisikan
batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”
-
Kepemimpinan
pola 3
“Pemimpin menyajikan masalah,
kelompok dapat menunjukkan, maka pemimpin membuat keputusan.”
-
Kepemimpinan
pola 4
“Pemimpin tentatif menyajikan
keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”
-
Kepemimpinan
pola 5
“Pemimpin menyajikan ide-ide
dan mengundang pertanyaan.”
-
Kepemimpinan
pola 6
“Para pemimpin membuat
keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”
-
Kepemimpinan
pola 7
“Para pemimpin membuat keputusan
dan mengumumkan ke grup.”
4) Modern Choice Approach to Participation
Teori kepemimpinan model Vroom dan Yetton ini
merupakan salah satu teori kontingensi. Teori kepemimpinan Vroom dan Yetton
disebut juga teori Normatif, karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi
tentana gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu.
Vroom danYetton memberikan beberapa gaya kepemimpinan yang layak untuk setiap
situasi.
5)
Contingency
Theory of Leadership dari Fieldler
Teori kontingensi situasional Fiedler menyatakan bahwa efektivitas
kelompok tergantung pada padanan yang tepat antara gaya pemimpin (pada dasarnya
ukuran sifat) dan tuntutan situasi. Fiedler menganggap kontrol situasional sejauh mana
seorang pemimpin dapat menentukan apa kelompok mereka akan lakukan untuk
menjadi faktor kontingensi utama dalam menentukan efektivitas perilaku
pemimpin.
Model kontingensi Fiedler adalah model dinamis dimana karakteristik
pribadi dan motivasi dari pemimpin dikatakan berinteraksi dengan situasi saat
ini yang dihadapi kelompok. Dengan demikian, model kontingensi menandai pergeseran dari kecenderungan
untuk atribut efektivitas kepemimpinan dengan kepribadian sendiri (Forsyth,
2006)
·
Favourableness Situasional
Menurut Fiedler, kemampuan untuk mengendalikan situasi kelompok (komponen
kedua dari model kontingensi) sangat penting bagi seorang pemimpin. Hal ini karena hanya pemimpin dengan kontrol
situasional dapat yakin bahwa perintah dan saran-saran mereka akan dilakukan
oleh pengikut mereka. Pemimpin yang tidak mampu untuk mengambil kendali atas situasi kelompok
tidak dapat memastikan bahwa anggota mereka memimpin akan menjalankan perintah
mereka. Karena kontrol situasional sangat penting untuk keberhasilan kepemimpinan,
Fiedler pecah faktor ini ke dalam tiga komponen utama: hubungan
pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi (Forsyth, 2006).
Tiga komponen situasional menentukan favourableness kontrol situasional:
-
Hubungan Pemimpin-Anggota
Mengacu pada tingkat
saling percaya, menghormati dan kepercayaan antara pemimpin dan bawahan. Ketika hubungan pemimpin-anggota dalam kelompok
miskin, pemimpin harus mengalihkan fokus dari tugas kelompok untuk mengatur
perilaku dan konflik dalam kelompok (Forsyth, 2006).
-
Tugas Struktur
Merujuk pada sejauh mana
tugas-tugas kelompok jelas dan terstruktur. Ketika struktur tugas rendah (terstruktur),
tugas-tugas kelompok yang ambigu, tanpa solusi yang jelas atau pendekatan yang
benar untuk menyelesaikan tujuan. Sebaliknya, ketika struktur tugas tinggi
(terstruktur), tujuan kelompok jelas, jelas dan mudah: anggota memiliki gagasan
yang jelas tentang bagaimana mendekati dan mencapai tujuan (Forsyth, 2006).
-
Posisi Pemimpin Power
Mengacu pada kekuasaan yang melekat pada posisi pemimpin itu sendiri.
6) Path Goal Theory
Teori path-goal adalah suatu model kontingensi kepemimpinan
yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari
penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan
consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar
dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya
dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya
yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari
keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu
anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan
penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan
dan pitfalls (Robbins, 2002).
Menurut
teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh
bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan
saat itu atau masa mendatang.
Perilaku
pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) Membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang
efektif dan (2) Menyediakan ajaran,
arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif
(Robins, 2002).
Model
kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan
dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena
pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan
kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena
memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada
tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan.
Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar, yaitu :
1. Memberi
kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya
dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam
menyelesaikan tugasnya.
2. Meningkatkan
jumlah hasil (reward) bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil
berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam
model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto,
2003)
1.
Kepemimpinan
pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan
kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja
yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan
secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya
aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2.
Kepemimpinan
pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan
menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua
bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan
kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang
menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung(supportive) memberikan
pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
3.
Kepemimpinan
partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif
berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum
mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan
motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented
leadership)
Gaya kepemimpinan dimana
pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan
memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin
harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan
mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada
kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan
kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model
teoripath-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate
and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
a.
Karakteristik
Bawahan
Pada faktor situasional ini,
teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin
akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut
akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu
instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup
tiga hal, yakni:
-
Letak Kendali (Locus of Control)
-
Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
-
Kemampuan (Abilities)
b.
Karakteristik
Lingkungan
Pada faktor situasional
ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan
menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
-
Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan
sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
-
Perilaku tersebut merupakan komplimen dari
lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan
penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan
terdiri dari tiga hal, yaitu :
1.
Struktur
Tugas
Struktur kerja yang tinggi
akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2.
Wewenang
Formal
Kepemimpinan yang direktif
akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan
strktur wewenang formal yang tinggi
3.
Kelompok
Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat
kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
MOTIVASI
A.
Definisi Motivasi
Motif berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak atau bahasa
Inggrisnya to move. Motif diartikan
sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk
berbuat (driving force). Motif tidak
berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan faktor-faktor lain, baik faktor
internal (lapar ingin makan, haus ingin minum) maupun faktor eksternal (ingin
belajar dengan baik agar mendapatkan lapangan pekerjaan dengan gaji yang baik).
Hal-hal yang mempengaruhi motif disebut motivasi.
Jadi motivasi adalah keadaan dalam diri individu
atau organisme yang mendorong perilaku kearah tujuan (Walgito, 2004: 220).
B.
Teori Drive Reinforcement
Teori Reinforcement
berhubungan dengan teori belajar operant
conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok, yaitu :
1. Aturan pokok yang berhubungan dengan pemerolehan
jawaban-jawaban yang benar.
2. Aturan pokok lainnya berhubungan dengan
penghilangan jawaban-jawaban yang salah.
Pemerolehan dari satu perilaku menuntut adanya
satu pengukuhan sebelumnya. Pengukuhan dapat terjadi positif (pemberian
ganjaran untuk satu jawaban yang diinginkan) atau negatif (menghilangkan satu
rangsang aversif jika jawaban yang diinginkan telah diberikan), tetapi
organisme harus membuat kaitannya antara aksi atau tindakannya dengan
akibat-akibatnya.
Menurut aturan pokok teori ini jawaban-jawaban
yang tidak dikukuhkan atau yang dihukum akan hilang. Untuk penghilangan jawaban
yang salah disarankan untuk tidak menghiraukan jawaban-jawaban tersebut.
Siegel & Lane (1982), mengutip Jablonske &
de Vries, memberi saran bagaimana manajemen dapat meningkatkan motivasi kerja,
yaitu dengan :
-
Menentukan
apa jawaban yang diinginkan
-
Mengkomunikasikan
dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja
-
Mengkomunikasikan
dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima tenaga kerja jika jawaban yang
benar terjadi
-
Memberikan
ganjaran hanya jika jawaban yang benar dilaksanakan
-
Memberikan
ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat yang paling memungkinkan,
yang terdekat dengan kejadiannya
C.
Teori Harapan (Expectancy)
Sejak dikembangkan oleh Vroom, teori harapan dikembangkan
lebih lanjut oleh ahli lain, antara lain Porter & Lawler. Selanjutnya
Lawler mengembangkan berdasarkan pengembangan lebih lanjut dari model Porter
& Lawler (1968), yang disajikan oleh Siegel & Lane (1982).
Model teori harapan dari Lawler mengajukan 4
asumsi, yaitu :
1. Orang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai
hasil-keluaran yang secara potensial dapat mereka gunakan. Setiap
hasil-keluaran alternatif mempunyai harkat (valence
= V) yang mengacu pada ketertarikannya bagi seseorang. Hasil-keluaran
alternatif juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals) dapat disadari atau tidak disadari oleh yang
bersangkutan.
2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang
kemungkinan bahwa upaya (effort = E)
mereka akan mengarah ke perilaku unujk-kerja (performance = P) yang dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E-P.
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang
kemungkinan bahwa hasil-hasil keluaran (outcomes
= O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk-kerja (P) mereka. Ini diungkapkan
dalam rumusan harapan P-O.
4. Dalam setiap situasi, tindakan-tindakan dan upaya
yang berkaitan dengan tindakan-tindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk
dilaksanakan ditentukan oleh harapan-harapan (E-P, dan P-O) dan pilihan-pilihan
yang dipunyai orang pada saat itu.
Model harapan dari Lawler
menyatakan bahwa besar kecilnya motivai seseorang dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Indeks Motivasi = Jml {(E-P)x Jml[(P-O)(V)]}
D.
Teori Tujuan
Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan
teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat/intentions (tujuan-tujuan) dengan
perilaku.
Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan
secara sadar. Menurut Locke, tujuan-tujuan yang cukup sulit, khusus dan yang
pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan menghasilkan
unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang taksa, tidak khusus,
dan yang mudah dicapai.
Teori tujuan ini didasarkan pada intuitif yang
solid. Penelitian-penelitian yang didasarkan pada teori ini menggambarkan
kemanfaatannya bagi organisasi.
Penetapan tujuan dapat ditemukan didalam teori
motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai.
Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi yang berbeda-beda.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, dapat,
seperti pada MBO, diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan perusahaan.
Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja
individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keikatan besar untuk berusaha
mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan.
E.
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada
dalam kondisi mengejar yang berkesinambung. Jika satu kebutuhan dipenuhi,
langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Proses berkeinginan
secara nonstop memotivasi kita sejak lahir sampai meninggal.
Kemudian Maslow mengajukan bahwa ada lima
kebutuhan, yaitu :
1.
Kebutuhan Fisiologi
Kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologi badan kita., seperti
kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan akan udara segar. Kebutuhan
fisiologi ini merupakan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti
eksistensinya.
2.
Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan
ancaman fisik. Dalam pekerjaan, kita jumpai kebutuhan ini dalam bentuk “rasa
asing” sewaktu menjadi tenaga kerja baru, atau sewaktu pindah ke kota baru.
3.
Kebutuhan Sosial
Kebutuhan ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih,
rasa memiliki. Setiap orang ingin menjadi anggota kelompok sosial, ingin
mempunyai teman, kekasih. Dalam pekerjaan kita jumpai kelompok informal yang
merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial seorang tenaga kerja.
4.
Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan harga diri meliputi dua jenis, yaitu :
a. Yang mencakup faktor-faktor internal, seperti
kebutuhan harga diri, kepercayaan diri, otonomi dan kompensasi
b. Yang mencakup faktor-faktor eksternal kebutuhan
yang menyangkut reputasi seperti mencakup kebutuhan untuk dikenali dan diakui,
dan status.
5.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang
dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif,
kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. Kebutuhan ini
menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Sumber :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28068/3/Chapter%20II.pdf
(diakses pada tanggal 17-12-2013)
http://carapedia.com/pengertian_definisi_pengaruh_info2117.html (diakses pada tanggal 17-12-2013)
http://www.organisasi.org/1970/01/definisi-pengertian-teori-perilaku-teori-x-dan-teori-y-x-y-behavior-theory-douglas-mcgregor.html (diakses
pada tanggal 17-12-2013)
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/2009/08/31/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/ (diakses
pada tanggal 17-12-2013)
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/modern-choice-approach-to-participation/ (diakses
pada tanggal 17-12-2013)
http://amusamusannisa.blogspot.com/2013/09/komunikasi-dan-kepemimpinan_6714.html (diakses
pada tanggal 17-12-2013)
http://rhamaugwisnu.blogspot.com/2013/01/wewenang-kekuasaan-dan-pengaruh_6203.html
(diakses pada tanggal 17-12-2013)
Heru
Basuki, A.M. (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Gunadarma
Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi.
Depok: Universitas Indonesia (UI Press)
Robbins, Stephen.P, dkk. (2008).
Organizational Behavior. Jakarta:
Salemba Empat
Sarwono, S. W.
(2005). Psikologi
Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Lussier
R. N & Achua C. F (2010). Leadership:
Theory, Application, & Skill Development: Theory, Application and Skill
Development 4e. USA: South Western Cengage Learning
Tidak ada komentar:
Posting Komentar