Kamis, 06 Juni 2013

Cinta dan Perkawinan

Cinta…
Satu kata yang sering kita dengar didalam keseharian kita. Cinta yang paling utama dalam hidup kita adalah cinta kepada Allah SWT dan cinta kepada Nabi kita Muhammad SAW. Kemudian cinta juga kita berikan kepada kedua orang tua kita, saudara kita, sahabat kita, serta teman-teman dan orang-orang yang menyayangi kita.
Cinta bukan hanya pengungkapan kepada lawan jenis saja. Cinta itu universal, tidak memandang wanita atau pria, tidak memandang usia, ataupun jabatan. Kita sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dimana kita diciptakan dengan penuh kasih dan sayang dari-Nya. Maka selayaknya kita mencurahkan rasa cinta kita untuk-Nya dan juga menebarkan benih-benih cinta pada sesama.
Namun di Indonesia sendiri kata cinta itu sering diungkapkan dengan menggambarkan keromantisan, asmara dan berhubungan pula dengan hawa nafsu. Dan biasanya itu semua diungkapkan kepada lawan jenis kita.
Dan untuk melanjutkan ke jenjang yang jauh lebih serius yaitu ke jenjang pernikahan, itu semua harus dilandasi oleh rasa cinta dari kedua pasangan tersebut. Karena cinta yang mengawali tumbuhnya keharmonisan dalam sebuah ikatan pernikahan.
Tapi sebenarnya apa itu cinta dan apa yang membuat cinta berhubungan erat dengan perkawinan?
A.   Deskripsi Cinta dan Perkawinan
a)     Cinta

   Cinta merupakan sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Cinta juga merupakan aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa empati, pengorbanan diri, perhatian, kasih sayang, dan lain-lain. Cinta adalah suatu perasaan positif yang diberikan kepada manusia atau benda lainnya dan itu semua bisa dialami oleh semua mahluk.

Menurut Erich Fromm, terdapat lima syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yakni :
-         Perasaan
-         Pengenalan
-         Tanggung jawab
-         Perhatian
-         Saling menghormati
Dalam bukunya The Art of Loving, Erich Fromm menyatakan bahwa ke empat gejala seperti care, responbility, respect, dan knowledge muncul secara seimbang dalam pribadi yang mencintai.
Beberapa unsur yang ada dalam cinta antar pribadi, yaitu :
-         Kasih sayang
-         Altruism
-         Reciprocation
-         Komitmen
-         Keintiman emosional
-         Kekerabatan
-         Passion
-         Physical intimacy
-         Kepentingan pribadi
-         Pelayanan
Menurut Stendberg dalam subteori segitiga cinta, bahwa pola cinta berkisar pada keseimbangan antara tiga elemen yakni :
-         Keintiman
-         Komitmen
-         Gairah

b)   Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hokum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Dan biasanya perkawinan dilandasi dengan yang namanya “cinta”.
Tujuan perkawinan, yakni :
-         Mendapatkan keturunan
-         Meningkatkan derajat dan status sosial
-         Mendekatkan kembali hubungan kerabat yang sudah renggang
-         Agar harta warisan tidak jatuh ke orang lain
Bentuk-bentuk perkawinan, yaitu :
-         Monogami     ; perkawinan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan.
-         Poligami        ; perkawinan santara satu orang wanita dengan lebih dari satu orang laki-laki, ataupun sebaliknya.

Poligami dibagi menjadi dua, yaitu :
·        Poligini         ; seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang wanita. Poligini terbagi atas dua macam, yaitu :
Ø Sororat
Ø Non sororat

·        Poliandri      ; seorang wanita bersuami lebih dari satu orang laki-laki. Poliandri terbagi atas dua macam, yaitu :
Ø Fraternal
Ø Non Fraternal

Artikel :

Menikahlah karena Cinta

Boni, sebut saja begitu. Seorang sahabat, umurnya 10 tahun lebih muda dariku. Ia lelaki tulen, ramah, ganteng, badan tegap, rambut selalu rapi, bekerja sebagai pendidik - pengajar di beberapa perguruan tinggi.
Boni memilik istri yang cantik. Wanita berbadan padat berisi, semampai, mapan dalam kerja. Mereka memiliki rumah. Memiliki kendaraan…dan (menurut saya) segalanya tersedia, cukup.
Namun dua hari yang lalu, Boni bertengkar hebat dengan istrinya hingga pertengkaran itu mengakibatkan debat usir. Usir-mengusir dari rumah. Kini, dua-duanya tak ada yang menempati rumah mereka. Keduanya ‘berpisah’ dan tinggal bersama orang tua masing-masing!
Satu hal yang kutahu, hingga perkawinannya memasuki usia ke-10, mereka belum dikaruniai anak oleh yang mahakuasa. Apakah karena momongan itulah yang menyebabkan mereka sering uring-uringan? Bisa jadi benar (kata beberapa tetangga kiri-kanan mereka), itulah satu penyebab pertengkaran mereka.
Perbedaan mendasar
Dalam hidup berkeluarga, jika melibatkan Sang Mahacinta, maka didalam keluarga tersebut akan hadir kedamaian, kerukunan, saling pengertian, dan saling…saling yang lain yang mengarah kepada kebaikan bersama. Kebaikan untuk sekeluarga, tak hanya melulu untuk lelaki saja atau kebaikan untuk perempuan saja. Syarat kebaikan tersebut adalah pengertian dan pemahanan yang dewasa serta manusiawi akan arti sebuah pernikahan. Syarat itu juga diikuti penyerahan diri secara total baik itu lelaki atau perempuan. Dan penyerahan itu sepenuhnya dilandasi oleh cinta.
Sebalik jika perkawinan hanya sekedar ‘daging bertemu daging’, nafsu bertemu nafsu, bisa dibayangkan, perkawinan itu hanya akan dilihat enak tidak enak, cantik tidak cantik, ganteng dan tidak ganteng. Orang seperti ini jika memahami perkawinan (pernikahan) hanya sebatas nafsu, perkawinannya tak akan bertahan hingga kaken-keken, ninen-ninen (kakek-kakek, nenek-nenek), sampai ajal menjemput diantara mereka berdua. Perbedaan cara pandang dalam perkawinan inilah yang mestinya perlu diwaspadakan setiap saat, apalagi dikala seseorang memilih menikah.
Berpikir sebelum ‘menaksir’
Berpikir sebelum ‘menaksir’, maksudnya berpikirlah sebelum menikah dengan yang disir (disukai). Berpikir siapa jodohku, apakah aku bisa memahaminya dengan segala kelebihan dan kekuranganku, sanggupkah aku mengalah, memahami gaya hidupnya…dan seterusnya. Berpikir positif, apakah aku bisa berubah, itu jauh kebih penting daripada memaksa orang lain mengikuti kehendakku. Ketidakberanian untuk berubah, biasanya akan berdampak pada ketidakmampuan kita untuk menjadi dewasa dalam menentukan pilihan.
Pernikahan yang hanya berusia ’sepasar bubar’ (lima hari selesai), biasanya karena tak tertampungnya hal-hal tersebut. Buyarnya sebuah hidup berkeluarga akan diperparah, manakala orang tua di salah satu pihak (baik itu lelaki atau perempuan) ikut ‘meracuni’ keluarga anaknya. Orang tua kadang terlalu jauh ikut campur tangan atas keluarga anaknya. Bisa jadi mereka tidak sadar, bahwa mereka, anak mereka, mempunyai ‘wilayah’ tersendiri!
Peristiwa keluarga Boni, yang bisa bertengkar sengit, karena mereka tidak mau saling mengisi, tak saling  mendudukan diri di posisi “kita sebagai satu kesatuan, keluarga”. Karena itu mereka, satu sama lain merasa paling benar, tak ada solusi yang kondusif selain perang mulut.
Menikahlah karena cinta
Sulit menakar kekuatan cinta, apabila cinta hanya dipandang sebatas bibir turun ke dada, jika itu wanita. Susah mengukur besarnya cinta jika hanya dipandang wajah ganteng turun ke isi belahan paha, jika itu pria!
Seribu satu alasan, orang bisa katakan tentang pernikahan. Namun orang akan cenderung mengatakan, menikahlah karena cinta dan karena pilihan.
Lebih penting dari semua itu, orang perlu menyadari akan kehadiran Sang Mahacinta yang memampukan semua hal dalam hidup berkeluarga. Secara pribadi, saya kadang bertanya dalam hati; benarkah saya melibatkan Sang Mahacinta dalam kehidupan keluarga saya. Ataukah saya full seratus persen hanya melibatkan nafsu dalam kehidupan keluarga saya? Ataukah saya sama sekali tak mengalami tak melihat Sang Mahacinta secara nyata dalam keluarga?
Jika lelaki dan perempuan menyadari bahwa dirinya hanyalah ciptaan, sangat wajar dan masuk akal jika dalam pernikahan mereka selalu (dan perlu) menyertakan Penciptanya, Sang Mahacinta. Memang, pernikahan tak akan selalu mulus. Namun setidaknya manusia mempunyai akhlak, moral, niat baik untuk maju dan bertumbuh berkembang bersama. Kata ‘bersama’ inilah yang selalu perlu diselipi ‘kata cinta’ kita sebagai keluarga.

Analisa :
Sebelum kedua pasangan itu mengikat janji untuk hidup bersama selamanya dalam sebuah ikatan pernikahan, biasanya sebagian besar dari mereka melakukan berbagai pendekatan untuk mengetahui apakah mereka cocok satu sama lain, apakah keluarga besar mereka dapat bersatu, apakah mereka benar-benar mencintai satu sama lain dan itu semua mereka lakukan untuk memantapkan hati mereka atas pilihannya. Dari artikel diatas, dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak menjamin langgengnya sebuah pernikahan walaupun masing-masing pasangannya memiliki ketampanan, kecantikan, mapan, dan sebagainya. Karena sebenarnya dalam sebuah ikatan pernikahan harus dilandasi oleh cinta, karena cinta akan menjadikan sebuah keluarga yang penuh kedamaian, kerukunan, kasih sayang, dan juga penuh cinta. Serta jangan lupa setiap pasangan harus memiliki rasa saling percaya satu sama lain. Maka menikahlah karena cinta J


B.   Bagaimana Memilih Pasangan
Dalam memilih pasangan biasanya berdasarkan pilihan kita sendiri walaupun banyak juga yang meminta persetujuan atau pendapat dari orang-orang terdekat seperti keluarga khususnya orang tua. Walau bagaimana pun dalam sebuah pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan saja, tetapi kita menyatukan dua keluarga yang pastinya memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain. Dan itu semua kembali lagi kepada pilihan kita yang akan menjalani mahligai rumah tangga itu. Walaupun banyak yang mengatakan terimalah apa adanya pasangan kita, tetapi setiap individu pasti memiliki kriteria-kriteria tersendiri dalam memilih pasangan hidupnya. 
Berikut terdapat beberapa kriteria dalam memilih calon pasangan hidup, khususnya yang beragama Islam yaitu :
1.     Seagama
2.     Memiliki akhlak yang baik (sholeh ataupun sholehah)
3.     Memiliki dasar pendidikan agama yang baik
4.     Rajin dan taat beribadah
5.     Sehat secara fisik dan psikologis
6.     Bagi seorang wanita, mampu melahirkan anak atau memiliki keturunan
7.     Disetujui dan direstui oleh kedua belah pihak keluarga
Tapi tidak menutup kemungkinan saat ini banyak yang memilih calon pasangannya dengan melihat latar belakang dari keluarga si calon pasangan masing-masing (apakah keturunan orang punya atau tidak), pekerjaan atau jabatan si calon pasangan dan sebagainya.

Jadi jangan sampai kita salah dalam memilih pasangan, karena itu semua dapat mengakibatkan penyesalan seumur hidup kita bila harus hidup bersama seseorang yang yang tidak tepat untuk kita.
Namun yang terpenting bagaimana kita menjadikan keluarga yang kita bina menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warrahmah.    

Artikel :
Memilih Pasangan dalam Islam
Bagaimana cara memilih pasangan hidup yang sesuai syariah Islam?
“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”
Kalimat di atas adalah kutipan ungkapan Siti Khadijah pada Nabi Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran Khadijah untuk menikah dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab biografi Nabi yaitu Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.
Siti Khadijah adalah salah satu dari tokoh bangsawan Makkah yang selain kaya juga memiliki wawasan intelektual yang luas pada zamannya. Ia– seorang janda yang ditinggal mati dua suami terdahulu, tahu betul bahwa betapa pentingnya memilih pasangan yang tepat dan benar.
Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dan alasannya memilih Nabi sebagai pasangan hidupnya yang terakhir.
Pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki karakter yang baik.
Karakter baik dan buruk seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menjatuhkan pilihan, antara lain, watak bawaan, lingkungan keluarga , lingkungan sekitar, lingkungan pendidikan dan wawasan keagamaan. Di antara semuanya, faktor watak bawaan dan wawasan spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang. Rasulullah mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menikahi wanita karena kesalihan wanita itu (fadzfar li dzatiddin) , maka dia akan beruntung (taribat yadaka). Nabi sangat tidak menganjurkan memilih pasangan hanya karena faktor harta atau fisik (cantik atau tampan) dengan tanpa melihat kesalihan sebagai pertimbangan utama. Quran bahkan menegaskan haramnya menikah dengan pria atau wanita nakal (QS Annur 24:3). Karena selain berdampak pada ketidakharmonisan dalam rumah tangga, juga berakibat kurang baik dalam proses pendidikan anak.
Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat keputusan kita dalam memilih pasangan. Karena, menurut sejumlah ahli psikologi, kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan lingkungan. Karakter warisan orang tua menjadi batas-batas kepribadian yang dapat dikembangkan. Sedang lingkungan—yakni sosial, budaya dan faktor situasional—akan mempengaruhi perkembangan aktual kepribadian anak dalam lingkup batas-batas tersebut.
Sebagai contoh, Andi adalah seorang anak yang orangtuanya dikenal pemarah, maka tidak heran apabila watak dasar Anda pemarah juga. Akan tetapi sifat pemarahnya jauh berkurang karena dia berteman dengan Budi yang penyabar. Namun, sesabar-sabar Andi, tentu tidak dapat melebihi kesabaran Budi, dst.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari calon pasangan kita. Dari kisah Siti Khadijah ini, kita tahu bahwa untuk mengenal kepribadian calon pasangan, tidak diperlukan proses pacaran atau “ta’aruf” terlebih dahulu. Yang diperlukan adalah penilaian orang-orang yang tahu betul perilaku calon pasangan kita.
Itulah yang dilakukan Siti Khajijah. Untuk mengenal Muhammad secara lebih dekat, Khadijah berkonsultasi dengan sepupunya Waraqah yang juga seorang pendeta Nasrani. Dia juga bertanya pada pembantu laki-lakinya yang bernama Maysarah yang menyertai Nabi dalam ekspedisi bisnis ke Suriah. Ia pun meminta tolong sahabat wanitanya bernama Nufaysah untuk mengutarakan niatnya pada Muhammad. Yang oleh Muhammad diterima dengan tangan terbuka.
Sikap Khadijah yang mengadakan pendekatan lebih dulu ini juga patut dicontoh kaum perempuan. Apabila seorang wanita sudah merasa menemukan pasangan idealnya, tidak ada salahnya ia mengadakan pendekatan lebih dahulu. Tentu melalui seorang perantara, seperti melalui orang tuanya atau tokoh yang dihormati, sebagaimana dicontohkan oleh Siti Khadijah.

Analisa :
Jika kita melihat dari kutipan artikel diatas, dimana disebutkan bahwa Siti Khadijah melakukan tiga hal ini untuk memilih Nabi Muhammad SAW sebagai pasangan hidupnya yang terakhir sebagai berikut :
Pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki karakter yang baik.
Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat keputusan kita dalam memilih pasangan.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari calon pasangan kita.
Sebagai seorang muslimah, dapat kita contoh apa yang dilakukan Siti Khadijah dalam memilih pasangan hidup. Dan yang terpenting yang terbaik bagi kita belum tentu terbaik menurut Allah SWT, tetapi apa yang terbaik menurut Allah SWT sudah pasti yang terbaik untuk kita. Maka pilihlah pasangan dengan cara-cara yang baik dan selayaknya seorang muslimah sebagaimana Siti Khadijah memilih Nabi Muhammad SAW sebagai pasangan hidupnya. Karena sebenarnya kita telah memiliki jodoh masing-masing yang suatu saat nanti kita akan dipertemukan dengannya. J

C.   Seluk Beluk Hubungan Dalam Perkawinan
Azas perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 mengandung :
1.     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2.     Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing Agama dan Kepercayaannya, perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
3.     Azas monogami adalah suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Seorang suami dapat beristri lebih dari satu apabila diizinkan Pengadilan dengan persyaratan :
-         Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
-         Isteri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat sembuh
-         Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
4.     Calon Suami Isteri harus telah matang jiwa dan raganya untuk melangsungkan untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.
5.     UU ini mempersempit terjadinya perceraian kecuali harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang Pengadilan.
6.     Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

Larangan-larangan perkawinan menurut Hukum Islam (Asas Selektivitas),
yaitu :
-         Perkawinan karena perbedaan agama
-         Perkawinan karena hubungan darah yang masih terlampau dekat
-         Perkawinan karena hubungan susunan
-         Perkawinan karena hubungan semenda
-         Perkawinan poliandri
-         Perkawinan terhadap wanita yang di Li’an
-         Perkawinan terhadap wanita atau pria pezina
-         Perkawinan terhadap isteri yang ditalak tiga
-         Perkawinan pria yang telah beristri empat
-         Perkawinan pria atau wanita pada waktu ihram haji atau umrah
Rukun nikah, yaitu :
-         Calon mempelai pria dan wanita
-         Wali dari calon mempelai wanita
-         Dua orang saksi (laki-laki)
-         Ijab
-         Qabul
Syarat nikah, yaitu :
-         Beragama Islam
-         Jelas pria
-         Tidak dipaksa
-         Tidak beristri empat orang
-         Bukan mahran calon isteri
-         Tidak memiliki isteri yang haram dimadu dengan calon isteri
-         Mengetahui calon isteri tidak haram dinikahinya
-         Tidak sedang dalam Ihram Haji atau Umrah
Syarat calon pengantin wanita, yaitu :
-         Beragama Islam
-         Terang wanita
-         Telah memberi izin kepada walinya untuk menikahinya
-         Tidak bersuami dan tidak dalam masa Iddah
-         Bukan mahram calon suami
-         Belum pernah di Li’an
-         Terang orangnya
-         Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Syarat wali nikah, yaitu :
-         Beragama Islam
-         Baligh
-         Berakal
-         Tidak dipaksa
-         Terang lelaki
-         Adil
-         Tidak sedang ihram haji atau umrah
-         Tidak rusak pikirannya
-         Tidak dicabut haknya oleh pengadilan
Syarat saksi, yaitu :
-         Beragama Islam
-         Laki-laki
-         Baligh
-         Berakal
-         Adil
-         Mendengar
-         Melihat
-         Bisa berbicara
-         Tidak pelupa
-         Menjaga harga diri
-         Mengerti maksud Ijab dan Qabul
-         Tidak merangkap menjadi wali
Prinsip pergaulan Suami Isteri, yaitu :
-         Suami sebagai kepala keluarga
-         Isteri sebagai ibu rumah tangga
Kewajiban suami, yaitu :
-         Pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya
-         Wajib melindungi istrinya dan memberikan keperluan hidup sesuai kemampuannya
-         Wajib memberikan pendidikan agama dan ilmu lain kepada isterinya
-         Menanggung nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan bagi isteri dan anaknya, biaya pendidikan bagi anaknya
Kewajiban isteri, yaitu :
-         Berbakti lahir dan bathin kepada suami dalam batas yang dibenarkan oleh Islam
-         Mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya
-         Menjaga kehormatan dirinya dan rumah tangganya
-         Menjadi pendamping suami yang setia
Etika dalam perkawinan, yaitu :
-         Bersikap lemah lembut kepada isteri, lemah lembut dalam bersenggama, melakukan sholat sunnah sebelum bersenggama dan disunnahkan suami meletakkan tangannya diatas kepala istrinya, membaca doa sebelum bersenggama, memilih waktu yang baik untuk bersenggama, dan dianjurkan berwudhu ketika ingin mengulangi senggama.


D.   Penyesuaian dan Pertumbuhan Dalam Perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah dua orang yang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.

Lima kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan menurut Hurlock, yaitu :
1.     Kebahagiaan suami isteri
2.     Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
3.     Kebersamaan
4.     Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan
5.     Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
1.     Usia
2.     Agama
3.     Ras
4.     Pendidikan
5.     Keluarga pasangan
Satu sampai dua tahun pertama dalam perkawinan merupakan tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan. Karena pada tahun-tahun itu pasangan tersebut harus melakukan penyesuaian antara kepribadian, emosional, seksual, intelektual dan yang lain satu sama lain.  
Dan pada masa dewasa dini adalah masa dimana individu meyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia 20-40 tahun.
  

E.   Perceraian dan Pernikahan Kembali
Setiap pasangan yang baru menikah pasti menginginkan rumah tangganya akan langgeng hingga akhir hayat, dan itu semua bisa tercapai apabila adanya komunikasi yang baik antar pasangan, saling percaya, saling menghargai, dan setia satu sama lain. Namun, dalam menjalani sebuah mahligai rumah tangga biasanya tidak semulus apa yang diharapkan. Biasanya banyak kerikil-kerikil tajam yang sering kali menimbulkan keributan, cekcok atau pertengkaran didalam rumah tangga tersebut. Bahkan jika masalah dalam rumah tangga tersebut tidak dapat menemukan penyelesaian atau semakin parah keributannya maka hal terburuk yang terjadi adalah terucapnya kata “perceraian”. Dan setelah perceraian itu benar-benar terjadi, biasanya banyak yang trauma dengan pernikahan sehingga takut untuk berhubungan dengan lawan jenis, tetapi tidak sedikit pula yang langsung membuka diri untuk orang lain dan jika telah menemukan kecocokan satu sama lain, yang akhirnya memutuskan untuk menikah kembali akan terjadi. Dan mereka akan belajar dari pengalaman masa lalunya yang suram agar tidak terjadi lagi pada pernikahan yang berikutnya.  

Artikel :

Riset: Di Pernikahan Kedua, Potensi Cerai Lebih Kecil dan Pasangan Lebih Bahagia


Jakarta - Tak ada yang mengharapkan perceraian saat pertama kali menikah. Namun jika hal itu sudah terjadi, tak ada salahnya untuk kembali membuka hati dan memutuskan menikah lagi. Berdasarkan sebuah yayasan pernikahan di Inggris, menikah kedua kalinya justru lebih membawa keuntungan. Pasangan akan lebih bahagia, dan kemungkinan bercerai juga semakin kecil.
Penelitian yang bekerjasama dengan Kantor Statistik Nasional itu dilakukan untuk mengetahui jenis pernikahan yang bertahan dalam ujian waktu. Hasilnya, 45 persen pasangan merasa perceraian sudah menjadi takdir sebelum bertemu orang yang tepat. Sementara itu, hanya 31 persen pernikahan kedua yang berawal dengan perceraian.
Riset juga menguak, keuntungan dari pernikahan kedua adalah usia, pengalaman dan juga komitmen yang lebih besar. Pikiran pun akan lebih terbuka. Dibanding harus berpisah, mereka lebih memikirkan cara menangani konflik dengan hati-hati.
Harry Benson, pria yang menulis riset ini mengungkapkan, "Dari semuanya, pernikahan kedua lebih baik karena mereka lebih tua dibanding saat pernikahan pertama. Usia lebih tua berarti pendapatan lebih tinggi pula. Selain itu, semakin sedikit kemungkinan punya anak lagi, berbeda dengan hubungan pertama. Pria pun cenderung melakukan lebih baik di pernikahan kedua, karena pernikahan pertama biasanya lebih banyak tekanan dari berbagai pihak," ungkapnya yang dikutip dari Daily Mail.
Meskipun begitu, seorang relationship expert Dr Pam Spurr juga mengungkapkan ada beberapa kelemahan dari pernikahan kedua.
"Data statistik menunjukan pernikahan kedua dapat bermasalah ketika ada anak-anak dari pernikahan sebelumnya. Keuangan juga bisa jadi masalah karena pembagian harta di sidang perceraian terdahulu." tuturnya.
Namun Dr Pam juga menambahkan, orang-orang di pernikahan kedua memiliki lebih banyak wawasan dan kesadaran diri. Apalagi setelah melewati proses perceraian, motivasi untuk menyelamatkan pernikahan akan jauh lebih besar.

Analisa :
sebuah pernikahan yang berakhir dengan perceraian, biasanya membuat seseorang menjadi trauma atau takut untuk menikah lagi bahkan takut untuk mengenal dan membuka hatinya untuk orang lain. tapi tidak sedikit pula yang justru melanjutkan hidupnya dengan menikah untuk yang kedua kali. Dan mereka menjalankan hidupnya dengan penuh kehati-hatian. 
Dari artikel diatas bisa dilihat bahwa pernikahan pertama menjadi pengalaman untuk pernikahan yang kedua. Biasanya orang-orang yang menikah untuk kedua kalinya akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, akan lebih memikirkan lagi bagaimana caranya mengatasi konflik dalam rumah tangga nya sehingga jauh dari kata "perceraian". Untuk itu sebelum kita berkomitmen untuk berumah tangga, sebaiknya kita lebih dulu mengenal bagaimana pasangan kita sehingga jika terdapat masalah-masalah dalam rumah tangganya kelak dapat teratasi dan terselesaikan dengan baik tanpa ada perceraian. 

F.   Single Life


Hidup melajang atau membujang kerap kali terjadi disekitar kita, bukan karena tidak ada yang mau dengannya atau bisa dibilang “tidak laku”. Tetapi banyak dari mereka yang sibuk dengan dunianya seperti dunia kerja,  apalagi jika pekerjaan mereka telah membuat hidupnya bercukupan maka tak jarang dari mereka enggan membuka dirinya untuk orang lain. Itulah yang menyebabkan banyak wanita dan pria yang sebenarnya sudah cukup untuk melepas masa lajangnya justru lebih senang dan nyaman untuk hidup melajang.
Padahal di agama kita sangat dianjurkan jika seseorang yang sudah memasuki usia siap menikah, mapan dan mampu untuk menikah, karena menikah merupakan sebuah ibadah kita kepada Allah SWT.
Dan sebenarnya kita diciptakan Allah SWT sudah berpasang-pasangan dan akan lebih baik jika itu semua dipersatukan dan disahkan dalam ikatan pernikahan.

Artikel :
Melajang, Pilihan atau Terpaksa?
Ariana – Jakarta
Dear Mas Dad dan KoKiers,
Ada banyak alasan untuk tetap melajang. Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang.
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang masih berstatus lajang untuk mengisi posisi tertentu. Pertimbangannya, para pelajang lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi alasan seorang tetap hidup melajang.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum memiliki kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa senang jika sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada kepuasaan tersendiri.
Banyak yang mengatakan seorang masih melajang karena terlalu banyak memilih atau ingin mendapat pasangan yang sempurna sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Rasanya tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita dengan seorang yang tidak kita cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada menikah akhirnya berakhir dengan perceraian.
Lajang pun lebih mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, berpenampilan lebih baik, dan dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada keberatan dari pasangan. Mereka bebas untuk melakukan acara berwisata ke tempat yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang biasanya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang berusia sama dengannya, tetapi telah menikah.
Ketika diundang ke pernikahan kerabat, pelajang biasanya menghindarinya. Kalaupun datang, mereka berusaha untuk berkumpul dengan para sepupu yang masih melajang dan sesama pelajang. Hal ini untuk menghindari pertanyaan singkat dan sederhana dari kerabat yang seusia dengan orangtua mereka. Kapan menikah? Kapan menyusul? Sudah ada calon? Pertanyaan tersebut, sekalipun sederhana, tetapi sulit untuk dijawab oleh pelajang.
Seringkali, pelajang juga menjadi sasaran keluarga untuk dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran telah menikah atau adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan agar adik tidak melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh.
Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.
Regards,
Ariana

Analisa :
Dari artikel diatas, bahwa seseorang yang hidup melajang biasanya tidak ingin hidupnya merasa dikekang dengan orang lain. Hidup melajang pun saat ini bukan lagi menjadi suatu keadaan terpaksa bagi seseorang, melainkan pilihan bagi orang tersebut. Biasanya mereka yang hidup melajang merasa bahwa dirinya belum menemukan pasangan yang cocok untuknya, ada juga yang sedang menikmati karirnya serta tidak sedikit pula yang sibuk dengan pendidikannya. Dari sekian banyak alasan untuk hidup melajang, sebenarnya tidak sedikit pula yang menginginkan untuk menikah agar dapat saling berbagi dalam keadaan suka maupun duka, namun karena belum adanya kecocokan hati maka mereka lebih memilih untuk hidup melajang. Semoga kita mendapatkan jodoh yang terbaik dari Allah SWT dan dipersatukan oleh ikatan pernikahan yang sah dimata Allah SWT, agama, dan negara.
Amin Yaa Allah :’)  


Sumber :
Papalia, Olds, Feldman. Human Development. 2009. Salemba Humanika. Jakarta.





Sumber Artikel :





Sumber Gambar :








Tidak ada komentar:

Posting Komentar