Cinta…
Satu kata
yang sering kita dengar didalam keseharian kita. Cinta yang paling utama dalam
hidup kita adalah cinta kepada Allah SWT dan cinta kepada Nabi kita Muhammad
SAW. Kemudian cinta juga kita berikan kepada kedua orang tua kita, saudara kita,
sahabat kita, serta teman-teman dan orang-orang yang menyayangi kita.
Cinta
bukan hanya pengungkapan kepada lawan jenis saja. Cinta itu universal, tidak
memandang wanita atau pria, tidak memandang usia, ataupun jabatan. Kita sebagai
mahluk ciptaan Allah SWT dimana kita diciptakan dengan penuh kasih dan sayang
dari-Nya. Maka selayaknya kita mencurahkan rasa cinta kita untuk-Nya dan juga
menebarkan benih-benih cinta pada sesama.
Namun di
Indonesia sendiri kata cinta itu sering diungkapkan dengan menggambarkan
keromantisan, asmara dan berhubungan pula dengan hawa nafsu. Dan biasanya itu
semua diungkapkan kepada lawan jenis kita.
Dan untuk
melanjutkan ke jenjang yang jauh lebih serius yaitu ke jenjang pernikahan, itu
semua harus dilandasi oleh rasa cinta dari kedua pasangan tersebut. Karena
cinta yang mengawali tumbuhnya keharmonisan dalam sebuah ikatan pernikahan.
Tapi
sebenarnya apa itu cinta dan apa yang membuat cinta berhubungan erat dengan
perkawinan?
A.
Deskripsi
Cinta dan Perkawinan
a)
Cinta
Cinta merupakan sebuah emosi dari kasih sayang
yang kuat dan ketertarikan pribadi. Cinta juga merupakan aksi atau kegiatan
aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa empati, pengorbanan
diri, perhatian, kasih sayang, dan lain-lain. Cinta adalah suatu perasaan
positif yang diberikan kepada manusia atau benda lainnya dan itu semua bisa
dialami oleh semua mahluk.
Menurut Erich Fromm, terdapat lima syarat untuk
mewujudkan cinta kasih, yakni :
-
Perasaan
-
Pengenalan
-
Tanggung jawab
-
Perhatian
-
Saling menghormati
Dalam
bukunya The Art of Loving, Erich
Fromm menyatakan bahwa ke empat gejala seperti care, responbility, respect, dan
knowledge muncul secara seimbang dalam pribadi yang mencintai.
Beberapa
unsur yang ada dalam cinta antar pribadi, yaitu :
-
Kasih sayang
-
Altruism
-
Reciprocation
-
Komitmen
-
Keintiman emosional
-
Kekerabatan
-
Passion
-
Physical intimacy
-
Kepentingan pribadi
-
Pelayanan
Menurut
Stendberg dalam subteori segitiga cinta, bahwa pola cinta berkisar pada
keseimbangan antara tiga elemen yakni :
-
Keintiman
-
Komitmen
-
Gairah
b) Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan
perjanjian hokum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan
merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar
pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan
diresmikan dengan upacara pernikahan. Dan biasanya perkawinan dilandasi dengan
yang namanya “cinta”.
Tujuan
perkawinan, yakni :
-
Mendapatkan keturunan
-
Meningkatkan derajat dan status sosial
-
Mendekatkan kembali hubungan kerabat yang sudah
renggang
-
Agar harta warisan tidak jatuh ke orang lain
Bentuk-bentuk
perkawinan, yaitu :
-
Monogami ;
perkawinan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan.
-
Poligami ;
perkawinan santara satu orang wanita dengan lebih dari satu orang laki-laki,
ataupun sebaliknya.
Poligami dibagi menjadi dua, yaitu :
·
Poligini ;
seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang wanita. Poligini terbagi atas
dua macam, yaitu :
Ø Sororat
Ø Non
sororat
·
Poliandri ;
seorang wanita bersuami lebih dari satu orang laki-laki. Poliandri terbagi atas
dua macam, yaitu :
Ø Fraternal
Ø Non
Fraternal
Artikel :
Menikahlah karena Cinta
Boni, sebut saja
begitu. Seorang sahabat, umurnya 10 tahun lebih muda dariku. Ia lelaki tulen,
ramah, ganteng, badan tegap, rambut selalu rapi, bekerja sebagai pendidik -
pengajar di beberapa perguruan tinggi.
Boni memilik istri
yang cantik. Wanita berbadan padat berisi, semampai, mapan dalam kerja. Mereka
memiliki rumah. Memiliki kendaraan…dan (menurut saya) segalanya tersedia,
cukup.
Namun dua hari yang
lalu, Boni bertengkar hebat dengan istrinya hingga pertengkaran itu
mengakibatkan debat usir. Usir-mengusir dari rumah. Kini, dua-duanya tak ada
yang menempati rumah mereka. Keduanya ‘berpisah’ dan tinggal bersama orang tua
masing-masing!
Satu hal yang
kutahu, hingga perkawinannya memasuki usia ke-10, mereka belum dikaruniai anak
oleh yang mahakuasa. Apakah karena momongan itulah yang menyebabkan mereka
sering uring-uringan? Bisa jadi benar (kata beberapa tetangga kiri-kanan
mereka), itulah satu penyebab pertengkaran mereka.
Perbedaan mendasar
Dalam hidup
berkeluarga, jika melibatkan Sang Mahacinta, maka didalam keluarga tersebut
akan hadir kedamaian, kerukunan, saling pengertian, dan saling…saling yang lain
yang mengarah kepada kebaikan bersama. Kebaikan untuk sekeluarga, tak hanya
melulu untuk lelaki saja atau kebaikan untuk perempuan saja. Syarat kebaikan
tersebut adalah pengertian dan pemahanan yang dewasa serta manusiawi akan arti
sebuah pernikahan. Syarat itu juga diikuti penyerahan diri secara total baik
itu lelaki atau perempuan. Dan penyerahan itu sepenuhnya dilandasi oleh cinta.
Sebalik jika
perkawinan hanya sekedar ‘daging bertemu daging’, nafsu bertemu nafsu, bisa
dibayangkan, perkawinan itu hanya akan dilihat enak tidak enak, cantik tidak
cantik, ganteng dan tidak ganteng. Orang seperti ini jika memahami perkawinan
(pernikahan) hanya sebatas nafsu, perkawinannya tak akan bertahan hingga kaken-keken,
ninen-ninen (kakek-kakek, nenek-nenek), sampai ajal menjemput diantara
mereka berdua. Perbedaan cara pandang dalam perkawinan inilah yang mestinya
perlu diwaspadakan setiap saat, apalagi dikala seseorang memilih menikah.
Berpikir sebelum ‘menaksir’
Berpikir sebelum ‘menaksir’,
maksudnya berpikirlah sebelum menikah dengan yang disir (disukai).
Berpikir siapa jodohku, apakah aku bisa memahaminya dengan segala kelebihan dan
kekuranganku, sanggupkah aku mengalah, memahami gaya hidupnya…dan seterusnya.
Berpikir positif, apakah aku bisa berubah, itu jauh kebih penting daripada
memaksa orang lain mengikuti kehendakku. Ketidakberanian untuk berubah, biasanya
akan berdampak pada ketidakmampuan kita untuk menjadi dewasa dalam menentukan
pilihan.
Pernikahan yang
hanya berusia ’sepasar bubar’ (lima hari selesai), biasanya karena tak
tertampungnya hal-hal tersebut. Buyarnya sebuah hidup berkeluarga akan
diperparah, manakala orang tua di salah satu pihak (baik itu lelaki atau
perempuan) ikut ‘meracuni’ keluarga anaknya. Orang tua kadang terlalu jauh ikut
campur tangan atas keluarga anaknya. Bisa jadi mereka tidak sadar, bahwa
mereka, anak mereka, mempunyai ‘wilayah’ tersendiri!
Peristiwa keluarga
Boni, yang bisa bertengkar sengit, karena mereka tidak mau saling mengisi, tak
saling mendudukan diri di posisi “kita sebagai satu kesatuan, keluarga”.
Karena itu mereka, satu sama lain merasa paling benar, tak ada solusi yang
kondusif selain perang mulut.
Menikahlah karena cinta
Sulit menakar
kekuatan cinta, apabila cinta hanya dipandang sebatas bibir turun ke dada, jika
itu wanita. Susah mengukur besarnya cinta jika hanya dipandang wajah ganteng
turun ke isi belahan paha, jika itu pria!
Seribu satu alasan,
orang bisa katakan tentang pernikahan. Namun orang akan cenderung mengatakan,
menikahlah karena cinta dan karena pilihan.
Lebih penting dari
semua itu, orang perlu menyadari akan kehadiran Sang Mahacinta yang memampukan
semua hal dalam hidup berkeluarga. Secara pribadi, saya kadang bertanya dalam
hati; benarkah saya melibatkan Sang
Mahacinta dalam kehidupan keluarga saya. Ataukah saya full
seratus persen hanya
melibatkan nafsu dalam kehidupan keluarga saya? Ataukah saya sama sekali tak
mengalami tak melihat Sang Mahacinta secara nyata dalam keluarga?
Jika lelaki dan
perempuan menyadari bahwa dirinya hanyalah ciptaan, sangat wajar dan masuk akal
jika dalam pernikahan mereka selalu (dan perlu) menyertakan Penciptanya, Sang
Mahacinta. Memang, pernikahan tak akan selalu mulus. Namun setidaknya manusia
mempunyai akhlak, moral, niat baik untuk maju dan bertumbuh berkembang bersama.
Kata ‘bersama’ inilah yang selalu perlu diselipi ‘kata cinta’ kita sebagai
keluarga.
Analisa :
Sebelum kedua pasangan itu
mengikat janji untuk hidup bersama selamanya dalam sebuah ikatan pernikahan,
biasanya sebagian besar dari mereka melakukan berbagai pendekatan untuk
mengetahui apakah mereka cocok satu sama lain, apakah keluarga besar mereka
dapat bersatu, apakah mereka benar-benar mencintai satu sama lain dan itu semua
mereka lakukan untuk memantapkan hati mereka atas pilihannya. Dari artikel
diatas, dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak menjamin langgengnya sebuah
pernikahan walaupun masing-masing pasangannya memiliki ketampanan, kecantikan,
mapan, dan sebagainya. Karena sebenarnya dalam sebuah ikatan pernikahan harus
dilandasi oleh cinta, karena cinta akan menjadikan sebuah keluarga yang penuh kedamaian,
kerukunan, kasih sayang, dan juga penuh cinta. Serta jangan lupa setiap
pasangan harus memiliki rasa saling percaya satu sama lain. Maka menikahlah
karena cinta J
B.
Bagaimana
Memilih Pasangan
Dalam
memilih pasangan biasanya berdasarkan pilihan kita sendiri walaupun banyak juga
yang meminta persetujuan atau pendapat dari orang-orang terdekat seperti
keluarga khususnya orang tua. Walau bagaimana pun dalam sebuah pernikahan tidak
hanya menyatukan dua insan saja, tetapi kita menyatukan dua keluarga yang
pastinya memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain. Dan itu semua
kembali lagi kepada pilihan kita yang akan menjalani mahligai rumah tangga itu. Walaupun
banyak yang mengatakan terimalah apa adanya pasangan kita, tetapi setiap
individu pasti memiliki kriteria-kriteria tersendiri dalam memilih pasangan
hidupnya.
Berikut terdapat beberapa kriteria dalam memilih calon pasangan
hidup, khususnya yang beragama Islam yaitu :
1.
Seagama
2.
Memiliki akhlak yang baik (sholeh ataupun
sholehah)
3.
Memiliki dasar pendidikan agama yang baik
4.
Rajin dan taat beribadah
5.
Sehat secara fisik dan psikologis
6.
Bagi seorang wanita, mampu melahirkan anak atau
memiliki keturunan
7.
Disetujui dan direstui oleh kedua belah pihak
keluarga
Tapi
tidak menutup kemungkinan saat ini banyak yang memilih calon pasangannya dengan
melihat latar belakang dari keluarga si calon pasangan masing-masing (apakah
keturunan orang punya atau tidak), pekerjaan atau jabatan si calon pasangan dan
sebagainya.
Jadi jangan sampai kita salah dalam memilih pasangan, karena itu semua dapat mengakibatkan penyesalan seumur hidup kita bila harus hidup bersama seseorang yang yang tidak tepat untuk kita.
Namun
yang terpenting bagaimana kita menjadikan keluarga yang kita bina menjadi
keluarga sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
Artikel :
Memilih Pasangan
dalam Islam
Bagaimana cara memilih pasangan
hidup yang sesuai syariah Islam?
“Aku menyukaimu karena
kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran
kata-katamu.”
Kalimat di atas adalah kutipan
ungkapan Siti Khadijah pada Nabi Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran
Khadijah untuk menikah dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab
biografi Nabi yaitu Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.
Siti Khadijah adalah salah satu
dari tokoh bangsawan Makkah yang selain kaya juga memiliki wawasan intelektual
yang luas pada zamannya. Ia– seorang janda yang ditinggal mati dua suami
terdahulu, tahu betul bahwa betapa pentingnya memilih pasangan yang tepat dan
benar.
Setidaknya ada tiga pelajaran
yang dapat kita petik dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dan
alasannya memilih Nabi sebagai pasangan hidupnya yang terakhir.
Pertama, pernikahan adalah
hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan
akan berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan
dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak
memiliki karakter yang baik.
Karakter baik dan buruk
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum
menjatuhkan pilihan, antara lain, watak bawaan, lingkungan keluarga ,
lingkungan sekitar, lingkungan pendidikan dan wawasan keagamaan. Di antara
semuanya, faktor watak bawaan dan wawasan spiritual adalah dua hal yang paling
penting. Dan di antara dua hal ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor
penentu untuk menikahi seseorang. Rasulullah mengatakan bahwa seorang laki-laki
yang menikahi wanita karena kesalihan wanita itu (fadzfar li dzatiddin) , maka
dia akan beruntung (taribat yadaka). Nabi sangat tidak menganjurkan memilih
pasangan hanya karena faktor harta atau fisik (cantik atau tampan) dengan tanpa
melihat kesalihan sebagai pertimbangan utama. Quran bahkan menegaskan haramnya
menikah dengan pria atau wanita nakal (QS Annur 24:3). Karena selain berdampak
pada ketidakharmonisan dalam rumah tangga, juga berakibat kurang baik dalam
proses pendidikan anak.
Kedua, pendidikan anak dimulai
dari saat keputusan kita dalam memilih pasangan. Karena, menurut sejumlah ahli
psikologi, kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan
dan lingkungan. Karakter warisan orang tua menjadi batas-batas kepribadian yang
dapat dikembangkan. Sedang lingkungan—yakni sosial, budaya dan faktor
situasional—akan mempengaruhi perkembangan aktual kepribadian anak dalam
lingkup batas-batas tersebut.
Sebagai contoh, Andi adalah
seorang anak yang orangtuanya dikenal pemarah, maka tidak heran apabila watak
dasar Anda pemarah juga. Akan tetapi sifat pemarahnya jauh berkurang karena dia
berteman dengan Budi yang penyabar. Namun, sesabar-sabar Andi, tentu tidak dapat
melebihi kesabaran Budi, dst.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa
untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang
sebenarnya dari calon pasangan kita. Dari kisah Siti Khadijah ini, kita tahu
bahwa untuk mengenal kepribadian calon pasangan, tidak diperlukan proses
pacaran atau “ta’aruf” terlebih dahulu. Yang diperlukan adalah penilaian
orang-orang yang tahu betul perilaku calon pasangan kita.
Itulah yang dilakukan Siti
Khajijah. Untuk mengenal Muhammad secara lebih dekat, Khadijah berkonsultasi
dengan sepupunya Waraqah yang juga seorang pendeta Nasrani. Dia juga bertanya
pada pembantu laki-lakinya yang bernama Maysarah yang menyertai Nabi dalam
ekspedisi bisnis ke Suriah. Ia pun meminta tolong sahabat wanitanya bernama
Nufaysah untuk mengutarakan niatnya pada Muhammad. Yang oleh Muhammad diterima
dengan tangan terbuka.
Sikap Khadijah yang mengadakan
pendekatan lebih dulu ini juga patut dicontoh kaum perempuan. Apabila seorang
wanita sudah merasa menemukan pasangan idealnya, tidak ada salahnya ia
mengadakan pendekatan lebih dahulu. Tentu melalui seorang perantara, seperti
melalui orang tuanya atau tokoh yang dihormati, sebagaimana dicontohkan oleh
Siti Khadijah.
Analisa :
Jika kita melihat dari kutipan artikel diatas,
dimana disebutkan bahwa Siti Khadijah melakukan tiga hal ini untuk memilih Nabi
Muhammad SAW sebagai pasangan hidupnya yang terakhir sebagai berikut :
Pertama, pernikahan adalah hubungan
persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan
berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan
dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki
karakter yang baik.
Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat
keputusan kita dalam memilih pasangan.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari
pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari
calon pasangan kita.
Sebagai seorang muslimah, dapat kita contoh
apa yang dilakukan Siti Khadijah dalam memilih pasangan hidup. Dan yang
terpenting yang terbaik bagi kita belum tentu terbaik menurut Allah SWT, tetapi
apa yang terbaik menurut Allah SWT sudah pasti yang terbaik untuk kita. Maka
pilihlah pasangan dengan cara-cara yang baik dan selayaknya seorang muslimah sebagaimana
Siti Khadijah memilih Nabi Muhammad SAW sebagai pasangan hidupnya. Karena
sebenarnya kita telah memiliki jodoh masing-masing yang suatu saat nanti kita
akan dipertemukan dengannya. J
C.
Seluk
Beluk Hubungan Dalam Perkawinan
Azas
perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 mengandung :
1.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal.
2.
Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hokum masing-masing Agama dan Kepercayaannya, perkawinan harus dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku.
3.
Azas monogami adalah suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami. Seorang suami dapat beristri lebih dari satu apabila diizinkan
Pengadilan dengan persyaratan :
-
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
-
Isteri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
sembuh
-
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
4.
Calon Suami Isteri harus telah matang jiwa dan
raganya untuk melangsungkan untuk melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.
5.
UU ini mempersempit terjadinya perceraian kecuali
harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang
Pengadilan.
6.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat.
Larangan-larangan perkawinan
menurut Hukum Islam (Asas Selektivitas),
yaitu :
-
Perkawinan karena perbedaan agama
-
Perkawinan karena hubungan darah yang masih
terlampau dekat
-
Perkawinan karena hubungan susunan
-
Perkawinan karena hubungan semenda
-
Perkawinan poliandri
-
Perkawinan terhadap wanita yang di Li’an
-
Perkawinan terhadap wanita atau pria pezina
-
Perkawinan terhadap isteri yang ditalak tiga
-
Perkawinan pria yang telah beristri empat
-
Perkawinan pria atau wanita pada waktu ihram haji
atau umrah
Rukun
nikah, yaitu :
-
Calon mempelai pria dan wanita
-
Wali dari calon mempelai wanita
-
Dua orang saksi (laki-laki)
-
Ijab
-
Qabul
Syarat
nikah, yaitu :
-
Beragama Islam
-
Jelas pria
-
Tidak dipaksa
-
Tidak beristri empat orang
-
Bukan mahran calon isteri
-
Tidak memiliki isteri yang haram dimadu dengan
calon isteri
-
Mengetahui calon isteri tidak haram dinikahinya
-
Tidak sedang dalam Ihram Haji atau Umrah
Syarat
calon pengantin wanita, yaitu :
-
Beragama Islam
-
Terang wanita
-
Telah memberi izin kepada walinya untuk
menikahinya
-
Tidak bersuami dan tidak dalam masa Iddah
-
Bukan mahram calon suami
-
Belum pernah di Li’an
-
Terang orangnya
-
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Syarat
wali nikah, yaitu :
-
Beragama Islam
-
Baligh
-
Berakal
-
Tidak dipaksa
-
Terang lelaki
-
Adil
-
Tidak sedang ihram haji atau umrah
-
Tidak rusak pikirannya
-
Tidak dicabut haknya oleh pengadilan
Syarat saksi,
yaitu :
-
Beragama Islam
-
Laki-laki
-
Baligh
-
Berakal
-
Adil
-
Mendengar
-
Melihat
-
Bisa berbicara
-
Tidak pelupa
-
Menjaga harga diri
-
Mengerti maksud Ijab dan Qabul
-
Tidak merangkap menjadi wali
Prinsip
pergaulan Suami Isteri, yaitu :
-
Suami sebagai kepala keluarga
-
Isteri sebagai ibu rumah tangga
Kewajiban
suami, yaitu :
-
Pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya
-
Wajib melindungi istrinya dan memberikan keperluan
hidup sesuai kemampuannya
-
Wajib memberikan pendidikan agama dan ilmu lain
kepada isterinya
-
Menanggung nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya
rumah tangga, perawatan dan pengobatan bagi isteri dan anaknya, biaya
pendidikan bagi anaknya
Kewajiban
isteri, yaitu :
-
Berbakti lahir dan bathin kepada suami dalam batas
yang dibenarkan oleh Islam
-
Mengatur keperluan rumah tangga dengan
sebaik-baiknya
-
Menjaga kehormatan dirinya dan rumah tangganya
-
Menjadi pendamping suami yang setia
Etika
dalam perkawinan, yaitu :
-
Bersikap lemah lembut kepada isteri, lemah lembut
dalam bersenggama, melakukan sholat sunnah sebelum bersenggama dan disunnahkan
suami meletakkan tangannya diatas kepala istrinya, membaca doa sebelum
bersenggama, memilih waktu yang baik untuk bersenggama, dan dianjurkan berwudhu
ketika ingin mengulangi senggama.
D.
Penyesuaian
dan Pertumbuhan Dalam Perkawinan
Penyesuaian
perkawinan adalah dua orang yang memasuki tahap perkawinan dan mulai
membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling
menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling
mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.
Lima
kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan menurut Hurlock, yaitu :
1.
Kebahagiaan suami isteri
2.
Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan
pendapat
3.
Kebersamaan
4.
Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan
5.
Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
1.
Usia
2.
Agama
3.
Ras
4.
Pendidikan
5.
Keluarga pasangan
Satu
sampai dua tahun pertama dalam perkawinan merupakan tahun yang paling penting
sekali dalam penyesuaian perkawinan. Karena pada tahun-tahun itu pasangan
tersebut harus melakukan penyesuaian antara kepribadian, emosional, seksual,
intelektual dan yang lain satu sama lain.
Dan pada
masa dewasa dini adalah masa dimana individu meyelesaikan pertumbuhannya dan
siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan
aspek-aspek fisiologis dan berusia 20-40 tahun.
E.
Perceraian
dan Pernikahan Kembali
Setiap
pasangan yang baru menikah pasti menginginkan rumah tangganya akan langgeng
hingga akhir hayat, dan itu semua bisa tercapai apabila adanya komunikasi yang
baik antar pasangan, saling percaya, saling menghargai, dan setia satu sama
lain. Namun, dalam menjalani sebuah mahligai rumah tangga biasanya tidak
semulus apa yang diharapkan. Biasanya banyak kerikil-kerikil tajam yang sering
kali menimbulkan keributan, cekcok atau pertengkaran didalam rumah tangga
tersebut. Bahkan jika masalah dalam rumah tangga tersebut tidak dapat menemukan
penyelesaian atau semakin parah keributannya maka hal terburuk yang terjadi
adalah terucapnya kata “perceraian”. Dan setelah perceraian itu benar-benar
terjadi, biasanya banyak yang trauma dengan pernikahan sehingga takut untuk
berhubungan dengan lawan jenis, tetapi tidak sedikit pula yang langsung membuka
diri untuk orang lain dan jika telah menemukan kecocokan satu sama lain, yang
akhirnya memutuskan untuk menikah kembali akan terjadi. Dan mereka akan belajar
dari pengalaman masa lalunya yang suram agar tidak terjadi lagi pada pernikahan
yang berikutnya.
Artikel :
Riset: Di Pernikahan Kedua, Potensi Cerai Lebih Kecil dan Pasangan
Lebih Bahagia
Jakarta - Tak ada yang mengharapkan perceraian saat
pertama kali menikah. Namun jika hal itu sudah terjadi, tak ada salahnya untuk
kembali membuka hati dan memutuskan menikah lagi. Berdasarkan sebuah yayasan
pernikahan di Inggris, menikah kedua kalinya justru lebih membawa keuntungan.
Pasangan akan lebih bahagia, dan kemungkinan bercerai juga semakin kecil.
Penelitian yang bekerjasama dengan Kantor Statistik
Nasional itu dilakukan untuk mengetahui jenis pernikahan yang bertahan dalam
ujian waktu. Hasilnya, 45 persen pasangan merasa perceraian sudah menjadi
takdir sebelum bertemu orang yang tepat. Sementara itu, hanya 31 persen
pernikahan kedua yang berawal dengan perceraian.
Riset juga menguak, keuntungan dari pernikahan
kedua adalah usia, pengalaman dan juga komitmen yang lebih besar. Pikiran pun
akan lebih terbuka. Dibanding harus berpisah, mereka lebih memikirkan cara
menangani konflik dengan hati-hati.
Harry Benson, pria yang menulis riset ini
mengungkapkan, "Dari semuanya, pernikahan kedua lebih baik karena mereka
lebih tua dibanding saat pernikahan pertama. Usia lebih tua berarti pendapatan
lebih tinggi pula. Selain itu, semakin sedikit kemungkinan punya anak lagi,
berbeda dengan hubungan pertama. Pria pun cenderung melakukan lebih baik di
pernikahan kedua, karena pernikahan pertama biasanya lebih banyak tekanan dari
berbagai pihak," ungkapnya yang dikutip dari Daily Mail.
Meskipun begitu, seorang relationship expert Dr
Pam Spurr juga mengungkapkan ada beberapa kelemahan dari pernikahan kedua.
"Data statistik menunjukan pernikahan
kedua dapat bermasalah ketika ada anak-anak dari pernikahan sebelumnya.
Keuangan juga bisa jadi masalah karena pembagian harta di sidang perceraian
terdahulu." tuturnya.
Namun Dr Pam juga menambahkan, orang-orang di
pernikahan kedua memiliki lebih banyak wawasan dan kesadaran diri. Apalagi
setelah melewati proses perceraian, motivasi untuk menyelamatkan pernikahan
akan jauh lebih besar.
Analisa :
sebuah pernikahan yang berakhir dengan perceraian, biasanya membuat seseorang menjadi trauma atau takut untuk menikah lagi bahkan takut untuk mengenal dan membuka hatinya untuk orang lain. tapi tidak sedikit pula yang justru melanjutkan hidupnya dengan menikah untuk yang kedua kali. Dan mereka menjalankan hidupnya dengan penuh kehati-hatian.
Dari artikel diatas bisa dilihat bahwa pernikahan pertama menjadi pengalaman untuk pernikahan yang kedua. Biasanya orang-orang yang menikah untuk kedua kalinya akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, akan lebih memikirkan lagi bagaimana caranya mengatasi konflik dalam rumah tangga nya sehingga jauh dari kata "perceraian". Untuk itu sebelum kita berkomitmen untuk berumah tangga, sebaiknya kita lebih dulu mengenal bagaimana pasangan kita sehingga jika terdapat masalah-masalah dalam rumah tangganya kelak dapat teratasi dan terselesaikan dengan baik tanpa ada perceraian.
F.
Single
Life
Padahal
di agama kita sangat dianjurkan jika seseorang yang sudah memasuki usia siap
menikah, mapan dan mampu untuk menikah, karena menikah merupakan sebuah ibadah
kita kepada Allah SWT.
Dan
sebenarnya kita diciptakan Allah SWT sudah berpasang-pasangan dan akan lebih
baik jika itu semua dipersatukan dan disahkan dalam ikatan pernikahan.
Artikel :
Melajang, Pilihan atau Terpaksa?
Ariana – Jakarta
Dear Mas Dad dan
KoKiers,
Ada banyak alasan
untuk tetap melajang. Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup, kesibukan
pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang cocok,
biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan
lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang.
Batasan usia untuk menikah kini semakin
bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut
berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan
untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah
sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi masyarakat terhadap orang yang
melajang, seiring dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita
melihat seorang yang masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di
atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai
bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan
yang baik.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh
seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi
jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang
bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap
pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan
yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang
masih berstatus lajang untuk mengisi posisi tertentu. Pertimbangannya, para
pelajang lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi
alasan seorang tetap hidup melajang.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada
prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan
hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan,
sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang
lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu
yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan
tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum memiliki
kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa senang jika
sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga
memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada
kepuasaan tersendiri.
Banyak yang mengatakan seorang masih melajang
karena terlalu banyak memilih atau ingin mendapat pasangan yang sempurna
sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Rasanya
tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita dengan seorang yang tidak kita
cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada menikah akhirnya berakhir dengan
perceraian.
Lajang pun lebih mempunyai waktu untuk dirinya
sendiri, berpenampilan lebih baik, dan dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada
keberatan dari pasangan. Mereka bebas untuk melakukan acara berwisata ke tempat
yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang biasanya terlihat lebih muda dari usia
sebenarnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang berusia sama dengannya,
tetapi telah menikah.
Ketika diundang ke pernikahan kerabat, pelajang biasanya
menghindarinya. Kalaupun datang, mereka berusaha untuk berkumpul dengan para
sepupu yang masih melajang dan sesama pelajang. Hal ini untuk menghindari
pertanyaan singkat dan sederhana dari kerabat yang seusia dengan orangtua
mereka. Kapan menikah? Kapan menyusul? Sudah ada calon? Pertanyaan tersebut,
sekalipun sederhana, tetapi sulit untuk dijawab oleh pelajang.
Seringkali, pelajang juga menjadi sasaran
keluarga untuk dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran
telah menikah atau adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan
agar adik tidak melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh.
Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga
mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka
dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak
yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau
jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup
sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan
terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa
lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di
hati.
Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang
perlu ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan
pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam
suka dan duka serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.
Regards,
Ariana
Ariana
Analisa :
Dari
artikel diatas, bahwa seseorang yang hidup melajang biasanya tidak ingin
hidupnya merasa dikekang dengan orang lain. Hidup melajang pun saat ini bukan
lagi menjadi suatu keadaan terpaksa bagi seseorang, melainkan pilihan bagi
orang tersebut. Biasanya mereka yang hidup melajang merasa bahwa dirinya belum
menemukan pasangan yang cocok untuknya, ada juga yang sedang menikmati karirnya
serta tidak sedikit pula yang sibuk dengan pendidikannya. Dari sekian banyak
alasan untuk hidup melajang, sebenarnya tidak sedikit pula yang menginginkan
untuk menikah agar dapat saling berbagi dalam keadaan suka maupun duka, namun
karena belum adanya kecocokan hati maka mereka lebih memilih untuk hidup
melajang. Semoga kita mendapatkan jodoh yang terbaik dari Allah SWT dan
dipersatukan oleh ikatan pernikahan yang sah dimata Allah SWT, agama, dan
negara.
Amin Yaa
Allah :’)
Sumber
:
Papalia, Olds, Feldman. Human Development. 2009.
Salemba Humanika. Jakarta.
Sumber Artikel :
Sumber
Gambar :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar